Bersahaja - Sosial - Humanis

Kepemimpinan Perempuan Menguat di Akar Rumput

Kepemimpinan Perempuan Menguat di Akar Rumput

Hj. Batia Sisilia Hadjar

Jakarta
 - Direktur Eksekutif Women Research Institute (WRI) Sita Aripurnami menilai kepemimpinan perempuan muncul dan menguat di tingkat akar rumput. Menurut Sita, kepemimpinan perempuan secara struktural pada sektor publik belum terjadi secara meluas.
“Namun proses transformasi sosial telah mampu mendorong munculnya pemimpin dalam gerakan perempuan di tingkat akar rumput. Kepemimpinan Perempuan mampu mempengaruhi dan mendorong terjadinya sebuah perubahan di masyarakat walau sering tidak terlihat,” ujar Sita dalam diskusi di daerah Kemang, Jakarta Selatan, Kamis (17/9).
Sita juga mengakui bahwa peran perempuan semakin menguat, meskipun kesetaraan gender secara substansi masih belum tercapai. Pasalnya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh perempuan, baik di ranah publik maupun ranah privat.
“Peran Kepemimpinan Perempuan, perlu dipahami dalam konteks yang luas melibatkan berbagai pihak dalam proses transformasi tersebut agar agenda-agenda dan bentuk-bentuk kuasa yang dijalankannya dapat dipahami secara kontekstual,” ungkap Sita.
WRI, katanya telah menemukan sejumlah kepimimpinan perempuan yang menguat dmulai dari akar rumput.
Pertama, Kelompok Perempuan Tani Pegunungan Kendeng yang melawan penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang. Mereka menuntut keadilan akibat penambangan dan pendirian pabrik yang mengancam hilangnya sumber air warga dan dampak negatif lainnya yang berakibat langsung terhadap masyarakat sekitar.
Kedua, Yosepha Alomang atau Mama Yosepha, seorang perempuan dari suku Amungme, Papua yang berjuang membela masyarakat di sekitar perusahaan pertambangan asing di daerahnya. Tekad untuk merubah dan berjuang untuk sesamanya, sangat nyata. Perjuangannya untuk menegakkan HAM terus-menerus mewarnai kehidupannya. Ia memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 1999.
Ketiga, Sisilia Mbimbus dari Nusa Tenggara Timur, seorang ibu rumah tangga yang berhasil memberdayakan warga desanya dengan membuat instalasi air bersih sehingga membuat anak-anak dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Sejak adanya pengelolaan air bersih, angka drop out sekolah semakin berkurang. Ia berani mendobrak tradisi perempuan yang tidak diperkenankan ikut campur dalam urusan dusun. Dia pernah dianugerahi SCTV Award, 2012.
Keempat, Asnaini berasal dari Aceh, Asnaini merupakan Kepala Desa perempuan pertama di Tanah Gayo, dia terbilang sukses memperjuangkan hak-hak warganya, khususnya kaum perempuan. Dia pernah dianugerahi Perempuan Aceh Award, 2012.
Kelima, tokoh perempuan lainnya adalah Aleta Baun, motor penggerak masyarakat di Pegunungan Molo, Nusa Tenggara Timur, untuk menentang perusahaan pertambangan di daerahnya. Ia menerima penghargaan The Goldman Environmental Prize di San Fransisco, California, Amerika Serikat, April 2013
Keenam, selain perempuan-perempuan tersebut, juga beberapa organisasi perempuan di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, memperjuangkan pengadaan pelayanan terpadu itsbat nikah hingga keluar akta nikah. Akta nikah sangat penting bagi perempuan karena memberikan kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak, itsbat nikah juga memberikan kepastian hukum terhadap status harta perkawinan.
Ketujuh, di bidang ekonomi teman-teman Serikat Perempuan Independen Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Labuhan Batu yang merupakan bagian dari Hapsari melakukan pemberdayaan perempuan.
Mereka mengadakan koperasi dan Credit Union (CU), mereka mengembangkan produk-produk yang berbasis pada sumberdaya yang tersedia di desa dan mereka dengan membuat sabun cuci piring untuk dijual.
Yustinus Paat/FQ beritasatu.com



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Admin, Published at 2:51 AM and have 0 comments

No comments:

Post a Comment