Bersahaja - Sosial - Humanis

Kepemimpinan Perempuan Indonesia: Tantangan dan Peluang

Kepemimpinan Perempuan Indonesia: Tantangan dan Peluang


Oleh: Dewi Candraningrum

Tantangan Kepemimpinan Perempuan
Saya mengenal Prof Susan Blackburn, penulis buku Women and the State in Modern Indonesia, ketika mengambil studi master di Monash University, Victoria, Australia. Susan merupakan pembimbing disertasi dari beberapa feminis penting Indonesia, seperti Siti Syamsiyatun, PhD—yang fokus pada riset Nasyiatul Aisyiyah dan Soe Tjen Marching, Phd yang menulis disertasi tentang beberapa diari perempuan penting di balik tokoh pemimpin Indonesia. Susan Blackburn boleh disebut sebagai ibu bagi kajian gender Indonesia di Australia. Banyak yang merujuk pada hasil-hasil penelitiannya. Dalam resensi ini, penulis akan mengambil dua buku penting yang ditulis oleh Susan Blackburn sendiri dan oleh salah satu mahasiswi doktoralnya: Elizabeth Martyn, yang mengkaji kepemimpinan perempuan dalam situasi kontemporer Indonesia.
Kedua buku ini berangkat dengan mendiskusikan hampir samanya latar belakang kepemimpinan perempuan di Indonesia sejak kemerdekaan hingga menjelang abad ke-21. Baik perempuan dari Mualimat-NU, Aisyiyah-Muhammadiyah, Gerwani, Wanita Kristen, Katolik dan Hindu, kesemuanya berlatar pendidikan barat, urban dan terdidik secara modern. Meskipun keduanya tidak sedang mencoba menggeneralisir, akan tetapi, tesis keduanya terbukti adanya. Pertumbuhan kepemimpinan perempuan di Indonesia tidak terlepas dari ideologi negara baru, Indonesia, akan gender. Indonesia masih belum tegas dan kokoh dalam mendefinisikan ideologi gender kenegaraannya, kalau tidak didominasi oleh patriarki. Bahkan, perempuan merupakan Ibu paling tua yang membesarkan patriarki. Hal ini tersurat dan tersirat dengan menawan dalam disertasi Soe Tjen Marching yang mengungkap bagaiman Sukarno dan pemimpin Indonesia lain, besar karena kinerja “istri”.
Ideologi “kodrat” bagi perempuan banyak mendominasi kelahiran Indonesia sebagai negara baru. Dalam kedua buku ini, ditemukan bagaimana kodrat perempuan yang ditempelkan pada rumah mengakar-kuat dalam sistem kenegaraan (Blackburn: hal 222; Martyn: hal 204). “Kodrat” merupakan tempat pembiakan pelemahan politik keperempuanan yang membuat perempuan: kelelahan bekerja dan tidak memiliki waktu untuk berkiprah dalam politik kenegaraan. Sementara rumah bukanlah tempat dimana negara memperebutkan kekuasaan. Rumah merupakan tempat steril dari politik. Padahal keputusan penting dalam dunia politik, yang dianggap publik, membawa imbas dan pengaruh yang tidak kecil bagi kehidupan sebuah “rumah”.
Dari tahun 1950, gerakan perempuan melakukan konsolidasi luar biasa dalam mendefinisikan “kepemimpinan perempuan” dalam sistem kenegaraan. Darinya perempuan masih ragu-ragu dalam mengambil peran. Dan sistem budaya kepemimpinan patriarki juga masih mendominasi. Pada era Orde Baru, Suharto mengembalikan perempuan kembali pada perannya sebagai “Ibu” dan sebagai penjaga rumah. Secara massif Suharto mendirikan Dharma Wanita yang secara eksplisit menyembunyikan peran kepemimpinan perempuan bagi negara karena sifatnya yang masih sangat subordinatif pada Patriarki. Akan tetapi, momentum kenaikan umur pernikahan bagi anak perempuan, perceraian yang dapat diajukan perempuan, dipersulitnya poligami, akses pendidikan dan kesehatan mengalami perbaikan sejak 1974 (ibid), meskipun secara politik mengalami “depolitisasi” besar-besaran dengan difitnahnya Gerwani sebagai kelompok wanita pecundang negara (lihat kajian Saskia Wieringa).
Tantangan utama dalam kepemimpinan perempuan, menurut Susan Blackburn, adalah kuatnya sistem kepemimpinan patriarki pada level elit nasional dan kuatnya politik Islam yang juga bersifat patriarki. Keduanya kawin-mawin dan menghambat pertumbuhan politik perempuan yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru (hal 221). Susan berpandangan bahwa para pemimpin baik yang sekuler nasionalis maupun yang Islam, sama-sama memiliki harga diri yang cukup tinggi untuk membatasi ruang gerak politik perempuan dengan dalih “kodrat”. Susan melanjutkan pada halaman berikutnya, bahwa, hambatan terbesar pemberdayaan kepemimpinan perempuan adalah dua hal. Pertama: perempuan bekerja terlalu banyak, terlalu payah, istilahnya “overworked”. Kedua perempuan dibayar dengan terlalu murah oleh sistem ekonomi. Keduanya menghambat lahirnya pemimpin-pemimpin perempuan. Bukannya perempuan tidak berdaya atau perlu diberdayakan, tetapi bahwasanya perempuan bekerja terlalu banyak, dan sayangnya, semua pekerjaannya tidak diakui oleh negara sebagai “strategis”.
Peluang Kepemimpinan Perempuan
Peluang kepemimpinan perempuan terjadi ketika ada perubahan paradigma dari Kementrian Peranan Wanita menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Menurut Susan Blackburn, perempuan memiliki upaya mandiri untuk dapat berdaya asalkan jalan dan peluang, yaitu langkah afirmatif, dibentangkan kepadanya. Jika tidak, akses untuk menjadi pemimpin bagi perempuan hanyalah isapan jempol belaka. Perubahan iklim rapat-rapat eksekutif yang melembur sampai malam merupakan salah satu ciri dari kepemimpinan laki-laki yang tidak mendapatkan tugas mengurus “rumah”, sebagai peran praktis yang selama ini diemban oleh perempuan. Pola-pola kerja sistem politik dan ekonomi perlu disesuaikan dengan mengakomodir peran-peran “praktis” rumah sebagai hal yang pula “strategis”.
Perubahan paradigma ini memerlukan kerja yang tidak lama karena dia meruntuhkan tembok keras patriarki yang selama ini meminggirkan kepemimpinan perempuan. Sebuah sistem budaya yang tidak mengakui keberadaan “kepemimpinan perempuan”. Dalam kedua kajian di kedua buku ini, Martyn dan Blackburn tidak melakukan universalitas dan generalisasi atas gerakan-gerakan kepemimpinan perempuan. Keduanya menyadari adanya plurivokalitas swara dan narasi dalam ideologi gender yang diusung oleh masing-masing organisasi. Debat paling seru dicatat dalam kedua buku ini tentang ditolaknya pemimpin perempuan, calon presiden pada waktu itu, Megawati. Dalam seteru itu, tampillah wajah beringas patriarki yang sesungguhnya, yang sebelumnya malu-malu menampakkan jati dirinya. Kelompok Islam tanpa malu-malu, melarang adanya pemimpin perempuan, yang mendapat resistensi sangat kuat dari Aisyiyah dan Mualimat. Dalam ormas Islam ada dinamika internal yang cukup intens hidup. Bagaimana Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah menganut sistem kepemimpinan gender progresif dan bagaimana Muhammadiyah dengan tanpa ragu menolaknya. Demikian juga dengan Mualimat dan NU.
Perempuan memiliki banyak peluang menjadi pemimpin. Akan tetapi tantangan terbesar adalah “tidak terlatihnya” perempuan dalam kepemimpinan publik dan “pilihan” perempuan untuk berada di rumah. Kedua tantangan internal tersebut merupakan potret nyata bagaimana perempuan masih ditempatkan dan menempatkan dirinya sebagai warga negara kelas kedua. Tetapi bahwasanya warga negara kelas kedua ini ditentukan oleh kebijakan negara sendiri yang meminggirkan peran strategis dari rumah. Negara selama ini meminggirkan rumah sebagai tidak strategis. Ini membawa peran mengerikan bagi peri kehidupan perempuan dan anak-anak. Tidak adanya standar UMR bagi PRT (Pekerja Rumah Tangga) merupakan pengabaian negara paling keji terhadap “rumah”. Kelahiran pemimpin perempuan perlu mendapatkan dukungan strategis dari sistem budaya kepemimpinan Indonesia paling kini, bahwasanya memimpin negara dengan menggendong anak juga valid. Bahwasanya rapat dengan membawa anak dan balita adalah sebuah gaya kepemimpinan yang harus diberi ruang. Toh semua laki-laki lahir dari perempuan dan menyusu kepada perempuan. Perikehidupan yang baik bagi ibu dan anak-anak merupakan pilar utama dari syarat kepemimpinan perempuan. Diskriminasi terhadap ibu hamil dan anak-anak perempuan akan menghancurkan investasi kepemimpinan negara di masa akan datang. Negara perlu waspada bahwasanya memberikan investasi kepada anak-anak perempuan, merupakan separuh dari keberhasilan kepemimpinan sebuah bangsa..

Buku Pertama
Judul: Women and the State in Modern Indonesia
Penulis: Susan Blackburn
Tahun/Penerbit: 2004/Cambridge: Cambridge University Press
Tebal: x & 269 halaman
Buku Kedua
Judul: The Women’s Movement in Postcolonial Indonesia: Gender and Nation in New Democracy
Penulis: Elizabeth Martyn
Tahun/Penerbit: 2005/ London&NY: Routledge Curzon
Tebal: xi & 277 halaman




share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Admin, Published at 7:06 AM and have 0 comments

No comments:

Post a Comment